Cerita Pendek Sangdenai
Jika kau punya waktu yang cukup, maka datanglah berlibur ke kampungku.
Kampungku terletak di sebuah dataran tinggi. Dalam buku pelajaran IPS Sekolah Dasar, dataran tinggi ini sering disebut. Terletak pada jajaran perbukitan yang berbaris dari utara ke selatan, dengan ketinggian rata-rata di atas 1000 meter dari permukaan laut. Oleh karena itu, kau akan merasakan sensasi dingin luar biasa, mencucuk-cucuk tulang seperti ribuan jarum mikro membenam dalam daging, menyengat sampai ke sumsum. Rimbunnya pepohonan, angin yang bertiup dari puncak gunung yang mengelilingi, udara masih terlindung dari polusi, menambah dingin temperatur. Lebih dingin dari Bandung, bahkan lebih dingin daripada Batu, Malang, atau Cipanas, Puncak.
Bandung dan Puncak terkenal dengan perkebunan tehnya. Batu, Malang, terkenal dengan apelnya. Begitu juga dengan dataran tinggiku, terkenal dengan padinya. Padi dari daerahku dikenal dengan nama Padi Randah Lamo. Diberi nama Padi Randah Lamo karena batang-batang padi tersebut rendah (dalam bahasa kampungku randah), kira-kira setinggi lutut orang dewasa. Masa panennya yang lama (dalam bahasa kampungku lamo), memakan waktu enam bulan. Walaupun begitu, menurut cerita yang kudengar dari ibuku yang seorang guru Sekolah Dasar, beras dari daerahku merupakan beras kualitas nomor satu di seantero negara ini. Bulir-bulirnya padat dan berisi seperti perut yang bunting 9 bulan. Butirannya yang putih bersih, melebihi kualitas Beras Cianjur yang terkenal itu. Atawa Beras Solok yang dilagudendangkan oleh Elly Kasim. Konon kabarnya, ketika kekuasaan di negara ini terpusat di kawasan Cendana, beras dari kampungku menjadi primadona di dapur istana. Aku tidak tahu tentang kebenarannya. Akan tetapi di kalangan orang-orang kampungku, hal ini sudah menjadi rahasia umum. Positifnya, petani di kampungku semakin bersemangat untuk mengolah lahannya.
Di antara bebukitan yang tinggi terdapat sebuah kota kecil. Berbagai nama dan gelar dilekatkan orang pada kota kecilku ini. Ada yang menyebutnya kota wisata, ada yang menyebutnya kota benteng. Akan tetapi aku lebih suka menyebutnya Kota Tiga Kota seperti yang pernah ditulis oleh temanku yang sastrawan itu, Gus tf Sakai (pasti kau mengenal karyanya). Walaupun dalam karyanya Gus tf Sakai tidak menyebut di mana Kota Tiga Kota yang dia maksud, tapi tidak salah kalau aku memakai istilah yang dia sebut sebagai Kota Tiga Kota untuk kota kecilku ini. Memang benar kota ini selalu dilingkupi oleh angka tiga. Ada tiga gunung yang dikenal memagari kota ini. Ada tiga sungai yang mengaliri kota ini. Ada tiga kecamatan di dalamnya. Sistem pemerintahan tradisional di kota ini juga terdiri dari tiga unsur. Masyarakat kota kecilku mengumpamakan sistem pemerintahannya itu seperti tungku yang terdiri tiga batu atau landasan yang berdiri seimbang. Atawa seperti sebuah tali besar yang terjalin dari tiga tali kecil yang berkelindan. Konon sistem pemerintahan ini menyerupai sistem pemerintahan polis di masa kejayaan Yunani beberapa abad yang lalu.
Kota Tiga Kota (sementara kita sepakat untuk menyebutnya seperti itu) sangat terkenal ke seantero nusantara. Keterkenalannya berbanding terbalik dengan luas wilayahnya. Jika kita menggunakan sepeda dayung untuk mengelilingi kota ini, tidak akan menghabiskan waktu setengah hari. Hanya saja tanjakan dan turunan cukup menguras tenaga. Maklumlah, tekstur permukaan kota ini seperti muka yang penuh bisul besar. Tidak datar dan rata, tetapi berbukit-bukit dengan beda ketinggiannya mencapai seratus meteran.
Ibu kota negara ini terkenal dengan sebuah menara dengan obor-api-emas di puncaknya. Kota Tiga Kota ini juga terkenal dengan sebuah menara. Bedanya, di puncak menara tidak ada obor-api-emas, tetapi pada empat sisinya yang mengarah ke empat penjuru mata angin terdapat jam yang besar-besar. Menara ini peninggalan orang-orang kulit putih ketika menguasai negeri ini. Menara jam inilah yang menjadi patokan waktu bagi masyarakat kotaku.
Ada satu keunikan pada keempat jam itu. Sekilas sepertinya biasa-biasa saja. Tapi coba cermati lebih jauh, kau akan mendapati keanehan pada angka-angkanya. Tertulis dalam angka Romawi. Angka satu sampai tiga tidak ada masalah, akan tetapi angka empat yang seharusnya ditulis IV, justru ditulis IIII. Aku pernah protes sama ibuku waktu kecil karena menganggap salah angka tersebut. Ibuku hanya tersenyum dan dengan sedikit kebingungan mencoba menanggapi kekritisanku dengan sebuah lelucon.
“Mungkin dulu orang berkulit putih itu teledor dan menyadari kesalahannya justru setelah jam itu terpasang.”
Kembali ke kampungku. Apabila ditarik garis lurus dari puncak menara jam yang besar itu, maka panjang garis itu kira-kira tujuh kilometer.
Baiklah, aku tunjukkan kepadamu cara untuk mencapai kampungku.
Jika kau telah sampai di Kota Tiga Kota, carilah terminal angkutan pedesaan yang semua penduduk tahu. Dari terminal itu, naiklah angkutan pedesaan yang mengarah ke timur kota. Pilihlah duduk di jok depan, dan kau akan disuguhi petualangan mata untuk menikmati pemandangan alam pedesaan.
Angkutan itu keluar dari terminal lewat gerbang timur. Berbelok ke kanan sekitar 150 meter dari terminal kau akan disuguhi sebuah turunan yang curam. Biasanya angkutan desa pada saat memasuki turunan yang curam ini sudah pada porseneling tiga. Sopir akan menggeber mobilnya kencang-kencang ketika turunan ini. Sampai di dasar turunan akan melewati sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang jernih. Ini merupakan salah satu sungai yang mengaliri Kota Tiga Kota.
Selepas jembatan langsung disambut dengan tanjakan yang tak kalah curamnya. Itu sebabnya para sopir memacu kecepatan saat menurunan tadi. Mereka ingin mengambil awalan untuk menanjak. Ketika tiba di pertengahan tanjakan, mobil yang melaju dengan porseneling tiga kebanyakan akan kehilangan tenaga. Sehingga dengan kesigapannya sang sopir akan menginjak pedal kopling, pindah porseneling dua, lepas kopling, dan langsung injak pedal gas lebih dalam. Raungan mesin mobil yang kepayahan jadi penghibur telingamu.
Puncak dari tanjakan itu kembali sang sopir menginjak pedal kopling, menggeser tuas porseneling ke posisi tiga lagi. Kecepatan akan konstan, dan beberapa saat kemudian akan masuk porseneling empat.
Pada saat inilah kau akan disuguhkan pemandangan yang berbeda dari yang biasa kita saksikan sehari-hari di ibukota ini. Kau akan menyaksikan hamparan sawah di kiri kanan jalan. Di sebelah kiri ada sebuah bandar yang air jernihnya mengaliri sawah-sawah itu. Ketika kau tolehkan wajahmu ke kanan, hamparan sawah. Datar sejauh mata memandang. Akhirnya matamu akan tertumbuk pada latar belakang, sebuah gunung yang menghijau-biru. Gunung yang kalau kau perhatikan puncaknya akan terlihat batu-batu cadas kelabu. Gunung yang sesekali masih suka batuk dan memuntahkan isi perutnya. Gunung yang dipercaya bahwa pada zaman dulunya, pada zaman antah berantah, hanya sebesar telur itik dan merupakan tempat berasal orang-orang di kampungku seperti yang mereka gambarkan dalam pantun ini.
Di mano disalai palito
Di baliak telong nan batali
Di mano turun niniak kito
Di ateh gunuang barapi
Mungkin kau tidak mengerti, tapi aku akan coba menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kira-kira berbunyi seperti ini.
Di mana dinyalakan pelita
Di balik lampu yang bertali
Di mana turun moyang kita
Di atas gunung berapi
Nilai kebenaran dari apa yang terkandung dalam pantun itu masih dipertanyaan. Namun terlepas dari hal itu, telah menjadi buah kepercayaan turun temurun. Sudah menjadi ingatan kolektif masyarakat kampungku.
Sementara itu turunkan kaca jendela mobil, hawa sejuk pegunungan akan menyerobot masuk. Wangi tanah dan bunga padi memberi sensasi baru bagi hidung kita yang terbiasa dengan bau asap knalpot metropolitan.
Hanya sekitar lima menit kau akan menyaksikan pemandangan ini. Setelah itu kau akan sampai di perbatasan Kota Tiga Kota dengan kabupaten. Kau akan memasuki sebuah kecamatan yang konon kabarnya merupakan nagari yang sangat tua. Nagari adalah bentuk pemerintahan terkecil, yang kalau kita cari padanannya seperti desa di Jawa. Namun ada kekhasan nagari, yaitu kemandiriannya dalam mengurus diri dan masyarakatnya sendiri.
Menurut cerita turun-temurun, pada zaman dulu kala, pada zaman antah-berantah, dari nagari pertama di daerah yang sangat menghargai perempuan ini, di balik gunung yang kau saksikan tadi, berangkatlah empat rombongan untuk mencari daerah baru. Keempat rombongan itu mendaki gunung yang terlihat di sebelah kanan itu. Ketika sampai di puncak gunung, mereka meninjau daerah sekeliling gunung. Akhirnya mereka sepakat untuk turun pada sisi lain gunung karena melihat pantulan cahaya matahari dari sisi tersebut. Seperti cahaya yang memantul dari cermin, seolah-olah memanggil-manggil mereka untuk menempati daerah tersebut.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan, akhirnya mereka sampai di suatu daerah. Mereka menemukan sebuah kolam yang airnya jernih dan mengkilat-kilat tertimpa sinar matahari. Kilatan-kilatan itu seperti pantulan sebuah cermin dan mereka meyakini bahwa kolam itulah yang mereka lihat dari puncak gunung tadi. Akhirnya kolam itu diberi nama sesuai dengan sifatnya tadi seperti cermin dan kolam itu masih ada sampai sekarang.
Kemudian masing-masing rombongan membuka teruka baru. Membangunnya menjadi empat nagari. Inilah cikal-bakal atau nagari awal, yang pada zaman pemerintahan modern keempat nagari itu disatukan menjadi satu kecamatan dan diberi nama sesuai dengan sejarahnya, yaitu empat nagari sekali angkat. Itulah cerita yang konon terdapat dalam tambo. Aku tidak tahu pasti kebenarannya karena tambo itu sendiri lebih banyak berasal dari cerita mulut ke mulut, orang sekarang menyebutnya dengan sastra lisan.
Baiklah, kita lanjutkan lagi. Beberapa saat setelah memasuki daerah kabupaten, kau akan menemui kampung pertama. Kita mulai menemukan rumah-rumah penduduk. Kau akan menyaksikan rumah dengan atap berbentuk tanduk kerbau, di antara beberapa rumah yang permanen. Setelah melewati beberapa rumah itu, kita akan memasuki pusat kampung tersebut.
Oh ya, sedikit aku akan cerita juga tentang kampung ini. Nama kampung ini unik juga. Konon, di kampung ini terdapat sebuah surau atau tempat ibadah yang dikelilingi oleh kolam yang airnya sangatlah jernih. Saking jernihnya air kolam itu, seolah-olah menjadi cermin, dan memantulkan bayangan surau yang berada di tengah-tengahnya setiap saat, sehingga seolah-olah kita melihat dua surau yang kembar, sama dan sebangun. Surau dan bayangan yang kembar inilah yang diambil menjadi nama kampung itu.
Setelah melewati kampung dengan surau dan bayangannya yang kembar itu, kembali kita melewati persawahan untuk kemudian kita memasuki kampung yang baru. Konon di kampung ini banyak sawah yang berpasir, sehingga kampung tersebut diberi nama sesuai dengan cirinya. Namun, sekarang kampung itu justru lebih terkenal sebagai penghasil pakaian jadi. Jika kau jalan ke Tanah Abang, pusat grosir kain di ibukota, carilah merk-merk pakaian yang berbau-bau Jepang, seperti nakamura, ikonogo, atau densiko. Itu merupakan produksi kampung ini. Orang-orang sering tertipu dengan merk-merk itu dan menganggap pakaian itu produk Jepang. Padahal merk itu berasal dari bahasa kampungku yang dimodifikasi. Nakamura berasal dari kata nan ka murah atau kalau di-Indonesia-kan, “yang murah”. Ikonogo berarti “nah ini dia”. Sedangkan densiko berasal dari kata den yang artinya aku, dan siko yang berarti di sini. Jadi densiko artinya, “aku di sini”. Ya, sebuah kiat yang menurutku cukup cerdik menyiasati pasar.
Setelah sampai di kampung itu, di depan kau akan menemukan pertigaan. Angkutan pedesaan akan berbelok ke kiri dan sekitar 500 meter kemudian kita akan memasuki kampung baru. Konon kabarnya dahulu di kampung ini terdapat sebuah ampang yang sangat besar. Ampang adalah sebuah kolam tempat memelihara ikan. Di nagari ini terdapat sebuah ampang yang sangat besar, oleh karenanya kampung ini diberi nama sesuai dengan ciri khasnya itu.
Setelah itu kita akan menemukan perempatan yang cukup ramai. Mobil yang membawamu akan berbelok ke kanan. Dan kampungku semakin dekat. Sekitar tiga-empat kilometer lagi dari perempatan itu kita akan memasuki kampungku.
Tidak sampai 10 menit, kau mulai memasuki kampungku. Ditandai dengan sebuah jembatan yang melintang di atas batang-air kecil yang berair jernih. Di batang-air ini, masyarakat menambang bahan galian terutama pasir yang benar-benar hitam. Pasir dari sungai ini sangat bagus kualitasnya dan merupakan salah satu penghasilan bagi masyarakat di kampungku.
Jalan raya yang kita lewati itu membelah kampungku utara dan selatan dengan belahan yang lebih kurang sama. Di kiri-kanan jalan terhampar sawah yang luas. Pada saat mendekati musim panen, sekeliling kita akan menguning laksana emas yang terhampar pada sebuah kanvas alam yang luas. Bulir-bulir padi yang bernas menggantung di tangkainya yang semakin hari semakin merunduk karena tidak mampu menahan beban yang semakin berat. Di sebelah kanan, dua gunung raksasa, tegak dengan pongahnya menjaga nagari. Seperti sepasang raksasa menghijau-biru saling bergandengan mesra. Lerengnya yang bersilangan seperti dua tangan yang saling menggenggam.
Setelah disuguhi pemandangan sawah ini, kembali kita akan menemui sebuah jembatan yang mengangkangi sebuah batang-air yang lebih besar dari yang kita temui pertama. Memang sebuah anugerah bagi kampungku, dialiri oleh tiga batang-air selain dua yang telah kita temui, di ujung timur kampungku sebagai pembatas dengan nagari sebelah juga terdapat sebuah batang-air yang lebih besar, deras, dan berkelok-kelok, di mana pada setiap kelokannya, airnya laksana menumbuk-numbuk tebing yang menjadi dinding batang air. Jadi kalau kita dari barat atau timur, tetap akan menemui batang-air ketika memasuki kampungku.
Setelah jembatan ini, jalan sedikit menikung dan kita akan sampai di pusat keramaian kampungku. Sebuah simpang empat yang menjadi perlintasan utama bagi penduduk nagari sebelah. Di perempatan ini semua kegiatan di nagariku terpusat. Terdapat sebuah Musalla sebagai tempat ibadah. Di seberang diagonalnya terdapat sebuah pekan (pasar) yang ramai setiap hari Rabu dan Sabtu. Sekitar seratus meteran di belakang pasar itu terdapat kantor Polisi dan asrama Polisi, di mana bangunannya merupakan peninggalan zaman kolonial. Sementara itu di seberang jalan pasar terdapat kantor Koramil dan di sebelahnya terdapat sebuah Puskesmas. Di sebelah Puskesmas itu ada sebuah Sekolah Dasar yang oleh karena prestasi siswanya, SD tersebut mendapat gelar SD Teladan. Seratus meter sebelah barat pasar terdapat kantor Kecamatan, sedangkan seratus meter sebelah utara sebuah komplek SMA berdiri dengan megah.
Di seberang SD Teladan itu kau akan temukan sebuah parak bambu, dan rumah ibuku berada persis di sebelah parak bambu tersebut. Mampirlah ke rumah ibuku. Sebuah rumah dengan atap seperti tanduk kerbau, dinding kayu, dan bentuknya seperti sebuah kapal besar.
Kau boleh menumpang beberapa hari di rumah ibuku. Kau tinggal bilang sama ibuku bahwa kau ingin menemukan suasana lain di kampungku, suasana yang berbeda dengan yang sehari-hari kita hadapi di kota besar ini. Ibuku pasti menyambut kau dengan tangan terbuka dan senyumannya yang khas. Kau akan nikmati suara ibuku, yang menurutku sangat merdu ketika membacakan bait-bait puisi sebagai pengantar tidurku. Beliau tentu akan menunjukan tempat-tempat yang bisa kau kunjungi sebagai tempat pelepas lelah, pelepas sesak, pelepas sumpek.
Setelah sejenak melepas lelah, mulailah berkeliling kampungku. Kau akan menemukan alam yang masih hijau. Pepohonan yang besar, guguran dedaunannya terbawa angin yang bertiup sepoi. Rumah-rumah penduduk yang teratur dengan susunan pola-pola tertentu seperti yang kita baca dalam buku-buku antropologi. Sawah-sawah yang membentang luas. Menikmati gemercik air yang mengalir di sela bebatuan di sungai yang berliku. Hamparan sawah, berjenjang mengikuti tektur tanah yang melandai. Senyuman kepuasan mengambang di bibir petani atas hasil kerjanya. Lenguhan kerbau yang memamah biak di bawah rindang pohon beringin yang tumbuh di pinggir sungai. Dan di sore hari itik beriringan pulang ke kandang. Malam yang pekat diisi dengan suara jangkrik dan kepakan sayap burung malam yang mencari makan. Dan rasakanlah sensasi dingin yang tak terkirakan pada malam hari. Aku yakin, kau akan meringkuk di bawah selimut tebal yang disediakan oleh ibuku. Dan di pagi hari kokok ayam dan kicau burung akan selalu mengusik tidurmu.
Pagi-pagi, kau akan menikmati sensasi lain, mandi di pancuran. Mungkin kau akan mengatakan dingin ketika air akan menjamah kulitmu. Keliru, kau keliru jika beranggapan seperti itu. Walaupun malam dingin, pagi pun dingin, tapi air yang mengalir di pancuran bambu itu hangat. Ini disebabkan air itu berasal dari mata air tanah. Hangat akan membaluri tubuhmu, membuat kau akan malas untuk buru-buru menyelesaikan ritual mandimu.
Dan ketika kau menyusuri jalan-jalan kampung, kau harus menyiapkan bibirmu untuk sebuah senyuman. Yah, mungkin hanya seulas senyum, tapi itu besar artinya bagi mereka. Mereka akan membalasnya dengan tulus. Orang di kampungku selalu mengamalkan sebuah pantun yang mereka warisi turun temurun sebagai sastra lisan. Kamu mau mendengarnya? Inilah bunyi pantun itu.
Nan kuriak kundi
Nan merah sago
Nan baiak budi
Nan indah baso
Ehm, tentu kau bingung dengan pantun itu. Baiklah, aku coba mencarikan padanannya dalam Bahasa Indonesia.
Yang belang kundi
yang merah saga
yang baik budi
yang indah bahasa.
Ya, yang indah adalah bahasa. Senyuman merupakan sebuah bahasa persahabatan atau lebih tepatnya bahasa persaudaraan bagi orang kampungku.
Itulah gambaran kampung kelahiranku. Semenjak bayi sampai usia belasan aku tumbuh dan berkembang di sana. Dengan adat-istiadat penduduknya yang khas, lebih mengakui garis keturunan ibu. Lagi-lagi temanku yang sastrawan itu, Gus tf Sakai, dalam salah satu novelnya mengatakan bahwa Sang Tokoh peletak sendi-sendi adat itu adalah seseorang yang sangat mencintai ibunya. Saking ia mencintai ibunya hingga ia tidak menikah selama hidupnya. Untuk penghormatan pada ibu khususnya, dan kaum perempuan pada umumnya, maka disusunnyalah adat di kampungku dengan keberpihakan yang sangat besar bagi kaum perempuan. Ya, semacam kompensasi dari kecintaannya kepada ibunya. Dan hal itu tanpa disadari, terwarisi olehku. Seperti yang kau tahu, kecintaanku pada ibuku melebihi apa pun di dunia ini. Seperti yang kau tahu, sampai usiaku yang ke-empat-puluh-dua tahun ini, belum satu orang perempuan pun yang mampu menggantikan posisi ibu dalam hatiku.
***
Sayang kawan, itu kisah sekitar dua puluh tahun yang lalu, tepatnya ketika aku akan berangkat ke metropolitan kita ini.
Lebaran yang lalu aku pulang ke kampungku.
Kerinduan yang menggumpal siap kuletuskan dengan sebuah kepulangan. Laksana sebuah bisul yang berawal dari abses kecil, lama-kelamaan menggumpal, bertambah besar, dan siap meletus, mengeluarkan semua yang dikandungnya, begitu juga dengan kerinduanku pada kampung halaman. Bayangkan! Lebih dua puluh tahun. Bukan waktu yang sedikit. Hampir setengah dari umurku.
Kulukis dalam imajiku suasana yang berbeda akan kutemukan di kampung ketika lepas landas di Cengkareng. Ah, bayangan-bayangan indah aku bangun di atas pesawat yang membawaku pulang. Berbagai kenangan masa kecil kucoba rangkai lagi. Dan aku berhasil membangun kenangan itu. Aku masih ingat, bagaimana saat aku menginjak umur tujuh tahun, malam-malam kulalui di surau. Tradisi saat itu adalah, semua anak laki-laki yang sudah berumur tujuh tahun, tidak boleh menginap lagi di rumah.
Namun kawan, lacurnya, apa boleh dikata. Bayangan yang telah berhasil kubangun berantakan. Memasuki turunan dan tanjakan yang aku ceritakan di awal, aku merasakan aroma metropolitan telah mencemari kampungku. Sungai yang mengalir di bawah jembatan itu tidak jernih lagi. Sampah berserakan membuat aliran air tersendat-sendat, tak ubahnya seperti Ciliwung atau Cikapundung di Bandung sana. Melewati tanjakan itu tidak ada lagi sawah-sawah yang menguning kulihat. Kini telah berubah berisi bangunan. Mulai dari ruko dan kompleks perumahan. Kampung dengan suraunya seolah-olah kembar, kampung yang sawahnya berpasir, kampung dengan ampangan yang besar, semua tinggal nama. Kampung-kampung itu seperti kehilangan ciri khas dan roh. Dan memasuki kampungku, badanku semakin lemas. Tidak ada lagi sawah-sawah terhampar sepanjang jalan. Semua berubah menjadi ruko dan perumahan.
Dan yang membuatku bertambah shock, ketika aku menelusuri kembali tempat-tempat kenangan masa kecilku. Senyuman yang mengambang di bibirku tidak lagi mendapat balasan dari mereka. Yang kutemui justru hanya orang-orang dengan muka berkerut, dahi berkerut, berjalan dengan kecepatan yang tinggi, seolah-olah begitu tergesa-gesa. Tidak ada tegur sapa, tidak ada senyuman. Dan aku merasakan aroma ibukota telah pindah ke kampungku.
Dan harapanku untuk menikmati suasana lain pudarlah sudah. Seperti cerita yang turun temurun, yang mengatakan bahwa kampungku ini diberi nama Bih Arok atau dalam Bahasa Indonesia berarti habis harapan. Nama ini konon kabarnya berasal ketika pada zaman dulu kala seorang anak mudanya habis harapan untuk meminang seorang gadis cantik pujaan hatinya. Seperti anak muda itu, saat ini aku pun bih arok untuk menikmati lagi cantiknya kampung pujaan hatiku.***
pub-4385546875208337